KEMENTERIAN
KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
SEKOLAH
TINGGI AKUNTANSI NEGARA
MAKALAH
KORUPSI
DI INDONESIA
![](file:///C:\Users\asus\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg)
Makalah
ini disusun guna memenuhi Tugas dalam
Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
Dosen Pengajar : Luther Manalu
Nama : Diky
Sumakarya
NIM : 131020010216
Kelas :
I
(Program Diploma I Keuangan, Spesialisasi
Pajak Konsentrasi PBB-P2)
SEKOLAH
TINGGI AKUNTANSI NEGARA
TANGERANG
SELATAN
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Akhir-akhir
ini kasus masalah korupsi menjadi perbincangan hangat di media masa Indonesia,
seiring dengan perkembangan zaman kasus tersebut terkadang sering dianggap menjadi
kasus yang dianggap sepele sehingga
pada akhirnya menjadi budaya yang mulai merebak mulai dari tingkat nasional
sampai daerah. Bahkan kasus-kasus tersebut dalam perkembangan selanjutnya mulai
bervarian terutama di negeri tercinta ini.
Dari
sekian banyak masalah kasus Korupsi hanya beberapa mungkin yang kasusnya dapat
terselesaikan selebihnya hilang begitu saja. Semua itu tidak terlepas dari
rapuhnya unsur pemerintahan mulai dari eksekutif, yudikatif dan legislatif. Perkembangan
bangsa Indonesia-pun selama kurun waktu 68 (enam puluh delapan) tahun
kemerdekaannya, terasa tidak terlalu memberikan dampak kemajuan yang positif bagi
rakyatnya. Terbukti dengan banyaknya kemiskinan, ketimpangan ekonomi dan
kecemburuan social yang begitu tinggi pada masyarakat sehingga pada akhirnya
memicu konflik, keresahan dan tindakan kriminal pada masyarakat.
Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan
patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah
mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang
lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan
negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan
dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas
kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi
hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya
moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji
mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban
lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak
berhasil memberantas korupsi atau paling tidak mengurangi sampai pada titik
nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu mengejar
ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang
maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat membawa
negara ke jurang kehancuran.
B. Pengertian Korupsi
Kata
Korupsi berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio” diambil dari kata kerja
“corrumperre” yang mempunyai makna busuk, rusak, memutarbalikkan, menggoyahkan
dan menyogok.
Menurut Prof. Subekti, korupsi adalah suatu tindak
perdana yang memperkaya diri yang secara langsung merugikan negara atau
perekonomian negara. Jadi, unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek.
Aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan
uang negara untuk kepentingannya. Sementara itu, Syed Hussen Alatas memberi
batasan bahwa korupsi merupakan suatu transaksi yang tidak jujur yang dapat
menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak lain. Korupsi dapat
berupa penyuapan (bribery), pemerasan (extortion) dan nepotisme. Disitu ada
istilah penyuapan, yaitu suatu tindakan melanggar hukum, melalui tindakan
tersebut si penyuap berharap mendapat perlakuan khusus dari pihak yang disuap.
Sedangkan nepotisme adalah bentuk kerjasama yang
dilakukan atas dasar kekerabatan, yang bertujuan untuk kepentingan keluarga
dalam bentuk kolaborasi dalam merugikan keuangan negara.
Adapun
ciri-ciri korupsi, antara lain:
a)
Melibatkan lebih dari satu orang. Setiap
perbuatan korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri, pasti melibatkan lebih dari
satu orang. Bahkan, pada perkembangannya acap kali dilakukan secara
bersama-sama untuk menyulitkan pengusutan.
b)
Serba kerahasiaan. Meski dilakukan
bersama-sama, korupsi dilakukan dalam koridor kerahasiaan yang sangat ketat.
Masing-masing pihak yang terlibat akan berusaha semaksimal mungkin menutupi apa
yang telah dilakukan.
c)
Melibat elemen perizinan dan keuntungan
timbal balik. Yang dimaksud elemen perizinan adalah bidang strategis yang
dikuasai oleh Negara menyangkut pengembangan usaha tertentu. Misalnya izin
mendirikan bangunan, izin perusahaan,dan lain-lain.
d)
Selalu berusaha menyembunyikan
perbuatan/maksud tertentu dibalik kebenaran.
e)
Koruptor menginginkan
keputusan-keputusan yang tegas dan memiliki pengaruh. Senantiasa berusaha
mempengaruhi pengambil kebijakan agar berpihak padanya. Mengutamakan
kepentingannya dan melindungi segala apa yang diinginkan.
f)
Tindakan korupsi mengundang penipuan
yang dilakukan oleh badan hukum publik dan masyarakat umum. Badan hukum yang
dimaksud suatu lembaga yang bergerak dalam pelayanan publik atau penyedia
barang dan jasa kepentingan publik.
g)
Setiap tindak korupsi adalah
pengkhianatan kepercayaan. Ketika seseorang berjuang meraih kedudukan tertentu,
dia pasti berjanji akan melakukan hal yang terbaik untuk kepentingan semua
pihak. Tetapi setelah mendapat kepercayaan kedudukan tidak pernah melakukan apa
yang telah dijanjikan.
h)
Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi
ganda yang kontradiktif dari koruptor sendiri. Sikap dermawan dari koruptor
yang acap ditampilkan di hadapan publik adalah bentuk fungsi ganda yang
kontradiktif. Di satu pihak sang koruptor menunjukkan perilaku menyembunyikan
tujuan untuk menyeret semua pihak untuk ikut bertanggung jawab, di pihak lain
dia menggunakan perilaku tadi untuk meningkatkan posisi tawarannya.
C. Korupsi Warisan Budaya Masa Lalu
Korupsi
memang harus dikikis habis dari budaya kita, bagaimanapun caranya. Sejarah
Korupsi di Indonesia ternyata tidak dimulai dari masa kini, namun pada masa
kolonial Belanda pun korupsi telah ada, sehingga menjadi contoh budaya yang
tidak baik pada masyarakat Indonesia saat ini.
Kolonialisme
dan penjajahan telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang tergantung,
lebih memilih pasrah daripada berusaha dan senantiasa menempatkan diri sebagai
bawahan. Sementara, dalam pengembangan usaha, mereka lebih cenderung berlindung
di balik kekuasaan (penjajah) dengan melakukan kolusi dan nepotisme. Sifat dan
kepribadian inilah yang menyebabkan munculnya kecenderungan sebagian orang
melakukan korupsi.
Berdasarkan
fakta sejarah korupsi ternyata sudah ada dari masa lampau dan terbagi menjadi
beberapa fase yaitu: zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern
seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase
tersebut.
I.
Fase
Zaman Kerajaan.
Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya,
dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan.
Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan
kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll,
mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk
memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama
kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan
Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan
saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu
Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga
terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik
yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita
ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan
“Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu,
kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan
kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso (Amien Rahayu
SS, Jejak Sejarah Korupsi Indonesia-Analis Informasi LIPI). Hal menarik lainnya
pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme
bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam
kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi
kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja
atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis
yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar
dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.
Umumnya
para Sejarawan Indonesia belum mengkaji sebab ekonomi mengapa mereka saling
berebut kekuasaan. Secara politik memang telah lebih luas dibahas, namun motif
ekonomi – memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan – belum
nampak di permukaan “Wajah Sejarah Indonesia”.
Sebenarnya
kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Sriwijaya
diketahui berakhir karena tidak adanya pengganti atau penerus kerajaan
sepeninggal Bala-putra Dewa. Majapahit diketahui hancur karena adanya perang
saudara (perang paregreg) sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Sedangkan Mataram
lemah dan semakin tidak punya gigi karena dipecah belah dan dipreteli gigi
taringnya oleh Belanda.
II. Fase Zaman Penjajahan .
Pada
zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem
budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para
penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini
berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik
oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang
(lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat
lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk
menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan
dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan
oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan
rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung,
Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat
Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih
akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun
sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan
kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini
telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan
harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang
dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah
yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia
juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek
korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang
memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).
A. Korupsi Masa VOC
Dalam
tulisannya yang berjudul “The Ideal of Power in Javanese Culture”, Benedict
Anderson (1972) menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah ada sebelum Belanda
menjajah Indonesia. Tengara Anderson ini tidaklah berlebihan, terutama jika
kita mengikuti sejarah perkembangan lahirnya negara Indonesia jauh sebelum
dideklerasikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Penelitian ini
mencoba mendeskripsikan korupsi sejak masa datangnya VOC (Verenigde Oost
Indische Compagnie) di wilayah Nusantara.
VOC
adalah sebuah asosiasi dagang yang pernah menguasai dan memonopoli perekonomian
di wilayah Nusantara. Dalam catatan sejarah, asosiasi ini bahkan bertindak
sebagai “pemerintah” yang berkuasa atas wilayah Nusantara. Praktik dagang yang
dikembangkan sangat monopolis, sehingga tidak berlaku “hukum” mekanisme pasar
dalam perekonomian. Tak ada kesejahteraan buat mereka yang tidak menjadi bagian
elite monopolis. Hubungan dagang diwarnai oleh kecurangan-kecurangan dan
persekongkolan yang cenderung korup. Karena tingginya tingkat korupsi di tubuh
VOC itulah maka akhirnya VOC mengalami kebangkrutan. Sebagai bukti tingginya
praktik kecurangan dan korupsi, kalangan kritis waktu itu memplesetkan VOC
bukan kepanjangan dari “Verenigde Oost Indische Compagnie” tetapi kepanjangan
dari “Verhaan Onder Corruptie” yang artinya runtuh karena korupsi. Menurut
catatan sejarah, kebangkrutan VOC setidaknya terjadi pada paruh kedua abad
XVIII.
Jika
sejarah bangsa Indonesia ditelusuri dari adanya berbagai pengaruh dunia luar
sejak jauh sebelum Indonesia merdeka, maka masa VOC turut berkontribusi
menjadikan tumbuh dan berkembangnya korupsi di Indonesia hingga menjadi budaya
(budaya korupsi). Pelajaran lainnya adalah bahwa ternyata korupsi berdampak
negatif pada perekonomian, yang ditunjukkan oleh keruntuhan VOC itu sendiri
yang disebabkan oleh akutnya praktik korupsi di dalam tubuhnya. Para pejabat
VOC, mulai dari Gubernur Jendral hingga juru tulis, banyak memanfaatkan
jabatannya untuk kepentingan pribadi. Bahkan dalam banyak kasus ditemukan
jabatan-jabatan khusus yang berhubungan dengan perdagangan diperjualbelikan dan
diberikan kepada orang yang memberikan penawaran tertinggi.
B. Korupsi Masa Pemerintahan Hindia
Belanda
Dalam
bukunya yang berjudul “Politik, Korupsi, dan Budaya”, Ong Hok Ham menyatakan
bahwa korupsi telah merasuk dan menjadi kenyataan hidup bangsa Indonesia.
Korupsi sudah menjadi budaya bangsa Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka,
yaitu sejak jaman penjajahan Belanda. Ini dapat ditelusuri dai munculnya
terminologi (istilah) “katabelece” sebagai salah satu modus operandi korupsi.
“Katebelece sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti Surat Sakti.
Gunanya untuk mempengaruhi kebijakan/keputusan untuk kepentingan atau tindakan
yang sifatnya menguntungkan pribadi atau kelompok“ (Thamrin, 2000).
Pernyataan
Ong Hok Ham tersebut cukup memberi penegasan bahwa membudayanya korupsi di
kalangan masyarakat saat pendudukan dan pengaruh VOC ternyata berlanjut hingga
VOC itu sendiri hengkang dari bumi Nusantara. Berdasarkan catatan sejarah,
munculnya penjajahan pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia memang tidak
dapat dipisahkan dari cerita dagang VOC di bumi Nusantara. Karena itu ketika
Belanda menjajah Indonesia, korupsi yang sudah membudaya di kalangan masyarakat
itu sulit diberantas.
Pergantian
era dari VOC ke era Pemerintahan Hindia Belanda tidak menjadikan wilayah
Nusantara terbebas dari praktik dan budaya korupsi. Meskipun upaya
pemberantasan korupsi dilakukan, tetapi korupsi tetap saja terjadi, bahkan
faktanya korupsi semakin merajalela. Politik tanam paksa yang diambil Belanda
malah menjadikan praktik korupsi tumbuh subur di kalangan pejabat
“pemerintahan” dalam negeri (yang merupakan orang-orang pribumi). Praktik
korupsi sudah benar-benar merambah ke pejabat pribumi yang diberi kewenangan
oleh Belanda. Korupsi bahkan tetap dan terus terjadi meskipun Belanda mencabut
system tanam paksa dan diganti dengan system perekonomian liberal. Hal ini
semakin memberikan pengetahuan kepada kita bahwa korupsi sudah tidak lagi dapat
diselesaikan dengan pendekatan system perekonomian. Karena sudah terlampau
merasuk merusak moral.
C. Korupsi Masa Pendudukan Jepang
Dalam
catatan banyak ahli sejarah, periode pendudukan Jepang dipercaya sebagai masa
merajalelanya korupsi. Pemerintah pendudukan Jepang memberlakukan Indonesia
sebagai arena perang, dimana segala sumber alam dan manusia harus dipergunakan
untuk kepentingan perang bala tentara Dai Nippon. Bahkan akibat langkanya
minyak tanah, yang diprioritaskan bagi kepentingan bala tentara Jepang, rakyat
diwajibkan untuk menanam pohon jarak, yang akan diambil bijinya sebagai alat
penerangan. Sangat sulit untuk mendapatkan beras atau pakaian pada saat itu
(Thamrin, 2000).
Korupsi
pada masa pendudukan tentara Jepang diperparah oleh adanya kekacauan ekonomi
rakyat, dan terlalu berorientasinya Jepang pada ambisi untuk memenangi perang
di kawasan Asia, sehingga pelayanan administrasi pemerintahan, pembangunan
ekonomi, dan kesejahteraan rakyat diabaikan. Sebagaimana dinyatakan oleh
Thamrin (2000), ahli sejarah banyak yang mencatat bahwa korupsi pada saat
pendudukan Jepang bahkan lebih parah dibandingkan masa VOC maupun masa
pemerintahan Belanda.
III.
Fase Zaman Modern.
Fase perkembangan praktek korupsi di zaman
modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia
dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah
kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang
tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut
tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai
di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di
pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan
yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi
terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah
menduduki peringkat 5 (besar) Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan
hingga saat ini.
Pada
zaman orde baru tindakan Korupsi dilakukan terpusat (sentralistis) sesuai
dengan sistem pemerintahan pada zaman itu. Kekuasaan Soehrato yang kurang lebih
memimpin Indonesia selama 32 Tahun mengakibatkan merebaknya tindakan Korupsi
baik oleh keluarga, kerabat maupun kroni-kroninya. Usaha melanggengkan kekuasaannya
mengakibatkan Negara banyak menderita kerugian, Kekuasaan yang melibatkan
keluarganya dan pada akhirnya membentuk sebuah dinasti usaha dengan cara-cara
tertentu agar dapat merapu uang Negara. Misalnya saja dalam bentuk Yayasan,
yaitu Yayasan Supersemar. Yayasan ini merupakan sebuah perusahaan yang berkedok
Yayasan, yang pada intinya tidak lain adalah guna meraup uang Negara. Selain iu
juga kekuasaan Soeharto telah meninggalkan bekas hutang Negara ini pada bank
internasional, yang imbasnya merugikan anak cucu kita nanti.
D. Contoh-Contoh Kasus Korupsi di
Indonesia
Ada berbagai macam kasus korupsi di Indonesia dari
mulai tingkat nasional sampai tingkat daerah, dari kasus terkecil kelas teri
sampai terbesar kelas kakap, dari jumlah ratusan sampai ribuan kasus yang
tercatat baik di media maupun dalam pengolahan aparat yang berwenang seperti
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi
KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi,
menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan
berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada periode 2006-2011 KPK
dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta Hamzah, Bibit
Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt. KPK ditolak
oleh DPR. Pada 25 November 2010, M. Busyro Muqoddas terpilih menjadi ketua KPK
setelah melalui proses pemungutan suara oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dilanjutkan lagi oleh Abraham Samad sejak 2011.[1]
Berikut ini adalah kasus-kasus korupsi pernah
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2011:
11 Februari KPK menangkap Jaksa Dwi Seno Widjanarko
asal Kejaksaan Negeri Tangerang di kawasan Pondok Aren, Bintaro, Tangerang. Dia
diduga memeras Agus Suharto, pegawai BRI Unit Juanda, Ciputat. Upaya pemerasan
terhadap Agus suharto ini diduga terkait dengan perkara penggelapan sertifikat
di BRI cabang Juanda, Ciputat, Tangerang Selatan yang ditangani Jaksa Seno.
Atas perbuatannya, Seno disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e Undang Undang No
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
4 Oktober KPK menahan FL (Bupati Nias Selatan
periode 2006 s.d. 2011) dalam dugaan tindak pidana korupsi memberikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelanggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban.
KPK menetapkan Timas Ginting selaku pejabat pembuat
komitmen di Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Sarana dan Prasarana
Kawasan Transmigrasi (P2MKT) Kemenakertrans sebagai tersangka kasus dugaan
korupsi pengadaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), kasus ini juga
menyeret Muhammad Nazaruddin dan istrinya Neneng Sri Wahyuni sebagai tersangka.
26 September Penyidik KPK menahan tersangka ME
(Bupati Kabupaten Seluma)dalam pengembangan penyidikan dugaan tindak pidana
korupsi pemberian hadiah di Pemerintah Kabupaten Seluma.
28 September KPK menetapkan RSP (mantan Kepala Pusat
Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan selaku Kuasa Pengguna Anggaran
merangkap Pejabat Pembuat Komitmen) sebagai tersangka dalam dugaan tindak
pidana korupsi dalam pengadaan alat kesehatan I untuk kebutuhan Pusat
Penanggulangan Krisis Departemen Kesehatan dari dana DIPA Revisi APBN Pusat
Penanggulangan Krisis Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan Tahun Anggaran
2007.
8 September KPK menahanan tersangka B (pemimpin Tim
Pemeriksa BPK-RI di Manado) dan MM (anggota tim Pemeriksa BPK-RI di Manado)
atas dugaan penerimaan sesuatu atau hadiah berupa uang dari JSMR Wali Kota
Tomohon periode 2005 s.d. 2010 terkait pemeriksaan Laporan Keuangan Daerah Kota
Tomohon Tahun Anggaran (TA) 2007.
25 Agustus KPK menangkap Kabag Program Evaluasi di
Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Dadong Irba Relawan ,
Sesditjen P2KT I Nyoman Suisnaya dan direksi PT Alam Jaya Papua Dharnawati
terkait kasus korupsi di Kemenakertrans , kasus ini juga membuat menakertrans
Muhaimin Iskandar dan menkeu Agus Martowardojo diperiksa.
13 Agustus KPK menahan mantan bendahara umum Partai
Demokrat Muhammad Nazaruddin sebagai tersangka kasus suap proyek Wisma Atlet
SEA Games setelah ditangkap di Cartagena, Colombia pada tanggal 6 Agustus 2011
dan tiba di Jakarta, pada 13 Agustus 2011. Dalam upaya untuk menangkap Muhammad
Nazaruddin yang buron, KPK melayangkan permohonan penerbitan Red Notice pada
tanggal 5 Juli 2011 kepada Kepolisian RI yang diteruskan kepada Interpol.
Sebelumnya KPK telah melakukan permintaan pencegahan terhadap Muhammad
Nazaruddin kepada Kementerian Hukum dan HAM pada tanggal 24 Mei 2011.
1 Juni KPK menangkap tangan seorang hakim Pengadilan
Hubungan Industrial Imas Dianasari di daerah Cinunu, Bandung, Jawa Barat karena
menerima uang dari seseorang berinisial OJ ayng diduga merupakan karyawan PT
OI.
2 Juni KPK menangkap tangan Hakim Syarifuddin diduga
menerima suap Rp250 juta dari kurator PT Skycamping Indonesia (PT SCI), Puguh
Wirawan. Selain uang Rp250 juta, KPK juga menemukan uang tunai Rp142 juta,
US$116.128, Sin$245 ribu, serta belasan ribu mata uang Kamboja dan Thailanddi
rumah dinas Syarifudin.
2 Juni KPK menangkap basah seorang Hakim pengawas di
Pengadilan Niaga Jakarta yang diduga menerima uang suap di daerah Sunter
Jakarta Utara. Dia diduga menerima suap dari kasus kepailitian..
22 November Penyidik KPK menangkap tangan jaksa
Kasub Bagian pembinaan di Kejaksaan negeri Cibinong bernama Sisyoto bersama
pengusaha E, AB dan satu orang sopir. Dalam penangkapan itu petugas KPK
menemukan uang Rp 100 juta yang diduga merupakan suap untuk Jaksa Sisyoto.
11 Desember Kepolisian Thailand menangkap Nunun
Nurbaetie, tersangka kasus cek pelawat yang menjadi buronan internasional. Ia
ditangkap di sebuah rumah kontrakan yang berada di Distrik Saphan Sung,
Bangkok, Thailand. Selanjutnya Nunun diserahkan ke KPK dan diterbangkan ke
Indonesia.
E. Peringkat Korupsi Indonesia di Mata
Dunia
Berdasarkan
penelitian survey dari beberapa sumber peringkat Korupsi Indonesia masih tinggi
dibandingkan Negara lain di dunia. Pada tahun 2012, peringkat indeks persepsi
korupsi (IPK) Indonesia menurun dari tahun sebelumnya. Dari 176 negara yang
diukur oleh Transparancy International, Indonesia menempati urutan ke-118.
Padahal tahun 2011, Indonesia menempati urutan ke-100 dari 183 negara.
Peringkat
Indonesia tahun 2012 sejajar dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir, dan
Madagaskar. Sedangkan di Asia Tenggara, peringkat Indonesia berada di bawah
Singapura (urutan ke-5), Brunei Darussalam (46), Malaysia (54), Thailand (88),
dan Filipina (108). Indonesia unggul di atas Vietnam (123) dan Myanmar (172).
Berdasarkan IPK, dengan semakin turun peringkat berarti negara itu semakin
korup, begitu pula sebaliknya.[2]
Sedangkan
angka korupsi di Indonesia selama tahun 2012 menjadi perhatian dunia. Indonesia
bahkan tergabung dalam 60 besar negara terkorup di dunia versi Transparansi
Internasional.
Seperti
dilansir laman Transparansi Internasional,
Indonesia duduk di peringkat 118 dari daftar peringkat indeks persepsi
korupsi 174 negara dunia. Namun jika mengacu poin tiap negara, Indonesia duduk
di posisi 56 negara terkorup.
Indeks
persepsi korusi di Indonesia mencapai poin 32. Indonesia berjarak 24 poin dari
Somalia yang jadi negara terkorup. Indonesia terpaut 58 poin dari Denmark yang
dinilai sebagai negara paling bersih dari korusi tahun 2012.[3]
Begitu
prihatinnya bangsa Indonesia seharusnya Negara ini menjadi Negara maju yang
kaya akan kekayaan alamnya dan menjadi contoh bagi Negara-negara Asia lainnya,
namun apadaya ternyata prilaku korupsi masyarakatnya yang tidak pernah hilang
telah menggerogoti kekayaan Negara ini, yang seharusnya kekayaan tersebut
ditujukkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat namun hanya dinikmati oleh
segelintir orang kaya tanpa memperhatikan dampak bagi masyarakatnya.
BAB
II
DAMPAK
KORUPSI
Korupsi pada suatu bangsa dapat memberikan dampak
yang signifikan bagi kemajuan bangsa itu sendiri, terutama dalam perekonomian,
kesejahteraan, tindak criminal masyarakat, maupun pandangan dunia terhadap
bangsa Indonesia. Berikut ini akan dijelaskan secara garis besar dampak korupsi
yang terjadi pada bangsa Indonesia apabila hal tersebut dilakukan secara terus
menerus;
A.
Bagi
Rakyat Indonesia
1. Lesunya Perekonomian
Lesunya Perekonomian Korupsi memperlemah investasi
dan pertumbuhan ekonomi Korupsi merintangi akses masyarakat terhadap pendidikan
dan kesehatan yang berkualitas Korupsi memperlemah aktivitas ekonomi,
memunculkan inefisiensi, dan nepotisme Korupsi menyebabkan lumpuhnya keuangan
atau ekonomi suatu negara Meluasnya praktek korupsi di suatu negara
mengakibatkan berkurangnya dukungan negara donor, karena korupsi menggoyahkan
sendi-sendi kepercayaan pemilik modal asing
2.
Meningkatnya Kemiskinan
Meningkatnya Kemiskinan Efek penghancuran yang hebat
terhadap orang miskin: Dampak langsung yang dirasakan oleh orang miskin Dampak
tidak langsung terhadap orang miskin Dua kategori penduduk miskin di Indonesia:
Kemiskinan kronis (chronic poverty) Kemiskinan sementara (transient poverty)
Empat risiko tinggi korupsi: Ongkos finansial (financial costs) Modal manusia
(human capital) Kehancuran moral(moral decay) Hancurnya modal sosial (loss of
capital social)
3.
Tingginya angka kriminalitas
Tingginya angka kriminalitas Korupsi menyuburkan
berbagai jenis kejahatan yang lain dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat
korupsi, semakin besar pula kejahatan. Menurut Transparency International,
terdapat pertalian erat antara jumlah korupsi dan jumlah kejahatan.
Rasionalnya, ketika angka korupsi meningkat, maka angka kejahatan yang terjadi
juga meningkat. Sebaliknya, ketika agka korusi berhasil dikurangi, maka
kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum (law enforcement juga
meningkat. Dengan mengurangi korupsi dapat juga (secara tidak langsung)
mengurangi kejahatan yang lain.
4.
Demoralisasi
Demoralisasi Korupsi yang merajalela di lingkungan
pemerintah dalam penglihatan masyarakat umum akan menurunkan kredibilitas
pemerintah yang berkuasa. Jika pemerintah justru memakmurkan praktik korupsi,
maka lenyap pula unsur hormat dan trust (kepercayaan) masyarakat kepada
pemerintah. Praktik korupsi yang kronis menimbulkan demoralisasi di kalangan
warga masyarakat. Menurut Bank Dunia, korupsi merupakan ancaman dan duri bagi
pembangunan. Korupsi mengabaikan aturan hukum dan juga menghancurkan
pertumbuhan ekonomi. Lembaga internasional menolak mebantu negara-negara korup.
Sun Yan Said: korupsi menimbulkan demoralisasi, keresahan sosial, dan
keterasingan politik.
5.
Kehancuran birokrasi
Kehancuranbirokrasi Birokrasi pemerintah merupakan
garda depan yang behubungan dengan pelayanan umum kepada masyarakat. Korupsi
melemahkan birokrasi sebagai tulang punggung negara. Korupsi menumbuhkan
ketidakefisienan yang menyeluruh de dalam birokrasi. Korupsi dalam birokrasi
dapat dikategorikan dalam dua kecenderungan umum: yang menjangkiti masyarakat
dan yang dilakukan di kalangan mereka sendiri. Transparency International
membagi kegiatan korupsi di sektor publik ke dalam dua jenis, yaitu korupsi
administratif dan korupsi politik.
6.
Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan
Terganggunya Sistem Politik dan Fungsi Pemerintahan
Dampak negatif terhadap suatu sistem politik : Korupsi Mengganggu kinerja
sistem politik yang berlaku. Publik cenderung meragukan citra dan kredibilitas
suatu lembaga yang diduga terkait dengan tindakan korupsi. Contohnya : lembaga
tinggi DPR yang sudah mulai kehilangan kepercayaan dari Masyarakat Lembaga
Politik diperalat untuk menopang terwujudnya berbagai kepentingan pribadi dan
kelompok.
7.
Buyarnya Masa Depan Demokrasi
Buyarnya Masa Depan Demokrasi Faktor Penopang
Korupsi ditengah Negara Demokrasi Tersebarnya kekuasaan ditangan banyak orang
telah meretas peluang bagi merajalelanya penyuapan. Reformasi neoliberal telah
melibatkan pembukaan sejumlah lokus ekonomi bagi penyuapan, khususnya yang
melibatkan para broker perusaaan publik. Pertambahan sejumlah pemimpin
neopopulis yang memenangkan pemilu berdasar pada kharisma personal malalui
media, terutama televisi, yang banyak mempraktekan korupsi dalam menggalang
dana.
B.
Bagi
Diri Sendiri
1.
Apabila
dilakukan orang lain
Tentunya setiap orang tidak ada yang mau merasa
dirugikan apalagi oleh orang lain. Setiap manusia berkeinginan merasakan
kenyamanan, kesejahteraan dan kekayaan. Apabila prilaku korupsi ini masih
terjadi ditengah-tengah masyarakat kita tentunya kita akan merasa dirugikan,
terutama hilangnya hak-hak yang seharusnya dimiliki oleh kita. Contohnya, dana
yang seharusnya digulirkan oleh pemerintah dalam bidang pendidikan tetapi telah
dikorup oleh segelintir orang misalnya, maka hak pendidikan bagi anak dan cucu
kita akan hilang, sehingga saudara-saudara kita tidak dapat menikmati hak
tersebut. Ini adalah sebuah perampokkan dan perampasan hak secara
terstruktur. Untuk itu hendaknya kita
menghindari prilaku tersebut.
2.
Apabila
dilakukan oleh diri sendiri
Apabila
prilaku korupsi dilakukan oleh diri sendiri tentunya kita seharusnya menyadari,
ada hak orang lain yang telah dirampas oleh kita. Prilaku tersebut merupakan
pelanggaran pidana terbesar yang akan merugikan diri sendiri dan keluarga.
Apabila prilaku tersebut dilakukan secara terus menerus tidak menutup
kemungkinan akan timbulnya kehancuran dalam keluarga dan yang pasti kita akan
terjerat hukum yang dapat menurunkan harkat, derajat dan martabat kita sendiri.
Belum
lagi sanksi sosial dari masyarakat, serta kerugian-kerugian lain yang akan
berdampak terhadap keluarga. Seperti dikucilkan dari masyarakat, diperas oleh
aparat hukum, dan tentunya penahanan yang bisa dikatakan tidak sebentar dalam
penjara.
BAB
III
MENGATASI KORUPSI
A.
JANGKA
PENDEK
Mengatasi
Korupsi tidaklah mudah namun semua itu bisa dicapai apabila ada itikad baik
dari diri kita sendiri. Mulailah hilangkan prilaku buruk tersebut dari kita
sendiri, seperti contohnya sebagai mahasiswa hendaknya kita tidak mencontek
pada saat ujian. Di lingkungan kerja tidak melakukan manipulasi anggaran, tidak
menyuap untuk kepentingan tertentu, tidak mementingkan diri sendiri dengan melakukan
kolusi dan nepotisme.
Apabila
mental buruk (prilaku korupsi) sudah tidak menjadi budaya bangsa ini, maka
tentunya harapan akan terwujudnya masyarakat madani akan segera tercapai.
Masyarakat yang tentram, damai, sejahtera dan berkualitas akan segera terwujud.
Bangsa ini tidak akan terpuruk, sehingga dimata dunia bangsa Indonesia akan
diperhitungkan.
B.
JANGKA
PANJANG
Ada beberapa strategi yang mungkin dapat
menghilangkan prilaku buruk (Korupsi) secara jangka panjang. Strategi ini
apabila dirumuskan sebagai berikut:
1.
Strategi
Preventif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan
diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab
yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan
penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan
peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam
pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi
Deduktif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka
perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindak lanjuti dengan tepat. Dengan
dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem
tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal
apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya
berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum,ekonomi maupun ilmu politik dan
sosial.
3.
Strategi
Represif
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama
dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan
tepatkepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran
proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di
segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara
cepat dan tepat. Namun implementasinya harus dilakukan secara terintregasi. Bagi
pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan. Bahkan dari masyarakat dan para pemerhati / pengamat
masalah korupsi banyak memberikan sumbangan.
4.
Strategi
Memutus Rantai
Yaitu strategi yang harus dilakukan sejak dini
dengan memberikan pemahaman tentang dampak korupsi dan bahaya laten korupsi
bagidiri sendiri dan orang lain. Contohnya dengan memasukkan pelajaran dalam
kurikulum bisa saja dengan materi “Pelajaran Anti Korupsi”. Sehingga anak cucu
kita dapat memahami arti penting bahaya korupsi bagi bangsanya, dan
kerugian-kerugian yang diakibatkannya.
BAB IV
KESIMPULAN
Korupsi adalah suatu
tindak pidana melanggar hukum dengan cara memperkaya diri sendiri secara langsung,
sehingga dapat merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi, unsur dalam
perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri dengan
menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk kepentingannya.
Adapun penyebabnya
antara lain, ketiadaan dan kelemahan pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika,
kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman
yang keras, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur ekonomi masyarakat.
Dampak korupsi dapat
terjadi di berbagai bidang diantaranya, bidang demokrasi, ekonomi, dan
kesejahteraan negara. Serta korupsi dapat pula menghancurkan tatanan kehidupan
dalam masyarakat. Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak
dini. Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang kecil.
Dari seluruh uraian diatas maka dengan
ini saya berikrar:
“SETELAH MENGETAHUI BAHAYA
KORUPSI BAGI RAKYAT DAN DIRI SAYA SENDIRI, SAYA BERJANJI TIDAK AKAN
MELAKUKANNYA SEPANJANG HIDUP SAYA”
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
·
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman.
1985. Hukum Pidana Indonesia .Bandung : Penerbit Sinar Baru.
·
Muzadi, H. 2004. Menuju Indonesia Baru,
Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing.
·
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana
Korupsi Di Indonesia . Jakarta : GhaliaIndonesia
·
Prof. Dr. H. Dasim Budimasnyah, M.Si.
2012. Pendidikan Kewarganegaraan Pada Perguruan Tinggi. Jakarta : Dwitama
Asrimedia.
Internet:
·
http://kumpulanmakalah-cncnets.blogspot.com/2012/02/makalah-korupsi.html
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi
[2] http://netsains.net/2013/07/perilaku-korupsi-di-indonesia-1945-2013/
[3] http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/01/02/mfz0e9-indonesia-ada-di-peringkat-56-negara-terkorup-dunia-tahun-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar